Kamis, 24 Oktober 2013

Pelajaran Menghargai Waktu dari Dahlan Iskan



Saya baru tiba di rumah ketika sebuah pesan pendek masuk ke handphone saya. “Besok pagi ikut saya ke Semarang dan Banjarmasin. Sore kembali ke Jakarta. Mau nggak?” tulis Menteri BUMN Dahlan Iskan, Selasa (22/10) menjelang tengah malam.

Tawaran ke Semarang tidak menarik bagi saya. Sebab, saya baru meninggalkan kota Semarang, sehari sebelumnya. Tapi tawaran ke Banjarmasin sungguh menggoda. Maklum, saya belum pernah mengunjungi kota itu sekali pun.

“Oke Pak. Siap ikut,” balas saya melalui pesan pendek.

“Kita berangkat dari Monas pukul 05.15,” sahut Dahlan, juga melalui pesan pendek.

Komunikasi yang teramat singkat. Tapi saya tidak berusaha untuk menanyakan apa agenda Pak Menteri di Semarang dan Banjarmasin. Pekerjaan menyusun proposal untuk klien segera mengalihkan perhatian saya.

Di tengah kesibukan, handphone saya berdering. Darmawan, manager promosi Harian Indopos menghubungi saya, menanyakan lokasi berkumpul di Monas. Rupanya, Darmawan juga ditawari ikut ke Semarang dan Banjarmasin oleh Dahlan. “Berangkat bareng saja,” jawab saya.

Pukul 04.00 saya dan Darmawan meninggalkan rumah di Kelapa Gading menuju Monas. Seusai salat subuh di Wisma Antara, saya berjalan kaki menuju lokasi patung Ikada. Lokasi favorit Dahlan bersenam pagi bersama kawan-kawannya.

Tiba di lapangan Ikada, saya bertemu dengan beberapa orang lagi. Ada Fauzi pimpinan Harian Pasundan Ekspres dan Gus Azis Muis, ustadz muda yang baru saya kenal.

Tidak seperti biasanya, hari itu, Dahlan hanya bersenam 30 menit. “Kita harus berangkat lebih awal, karena kita tidak memakai mobil dan polisi pengawal,” kata Dahlan sambil berjalan kaki menuju kantor Kementerian BUMN.

Dahlan adalah satu-satunya menteri di Kabinet Indonesia Bersatu yang tidak menggunakan fasilitas pengawalan polisi. Karena tanpa pengawal, Dahlan harus pintar dan disiplin waktu karena kemacetan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

“Di Semarang, apa ada acara apa Pak,” tanya saya kepada Pak Menteri.

“Menghadiri undangan IAIN Walisongo dan FISIP Undip,” jawab Dahlan sambil membetulkan tali sepatu kets “DI-19″ kesukaannya.

“Atur penumpang, minimal 3 orang dalam 1 mobil. Kita akan lewat jalur 3 in 1,” kata Dahlan, sembari masuk ke mobilnya, Nissan Serena keluaran 2011, yang biasa dipakai istrinya.

Mengapa pakai Serena? Di mana sedan Mercy-nya? “Mercy sudah 2 minggu di bengkel. Maklum, sudah 7 tahun dipakai. Mulai banyak yang harus diperbaiki,” kata Sahidin, karyawan Jawa Pos yang sekarang ditugaskan menjadi sopir khusus buat Pak Menteri.

Beriringan kami menuju lapangan terbang Halim Perdana Kusuma di Jakarta Timur. Perjalanan ke Semarang dan Banjarmasin memang tidak menggunakan pesawat regular, melainkan pesawat carter karena rute penerbangan dan jadwal kegiatannya tidak bisa disesuaikan.

“Ini soal komitmen. Saya sudah menyatakan siap hadir menjadi pembicara di IAIN Walisongo dan FISIP Undip. Ternyata, hari yang sama juga ada pelantikan anggota PWI Pusat di Banjarmasin. Melihat rute dan jadwalnya, tidak mungkin kita naik Garuda atau Citilink. Harus sewa pesawat,” jawab Dahlan.

Tepat pukul 06.30, pesawat Avanti yang disewa dari Susi Air tinggal landas meninggalkan lapangan terbang Halim Perdana Kusuma, menuju lapangan terbang Ahmad Yani, Semarang. Total ada 8 orang penumpang ditambah 1 pilot dan 1 co pilot.

Inilah pengalaman terbang termahal bagi saya. Perjalanan dari Jakarta - Semarang - Banjarmasin - Jakarta itu biayanya USD 18.000!

Setelah mengudara 45 menit, pesawat pun mendarat di Lapangan Terbang Ahmad Yani, Semarang, dengan mulus. Bersama rombongan rektoran IAIN Walisongo yang menjemput, rombongan bergegas menuju Hotel Pandanaran. Di situ, Dahlan didaulat menjadi pembicara kunci dalam sebuah seminar bertema komunikasi.

Tiba di hotel, suasana masih sepi. Dahlan mulai bertanya-tanya, mengapa seminar dimulai? Bukankah pukul 08.00 seharusnya Dahlan sudah membawakan presentasi?

Tiga puluh menit Dahlan menunggu. Seminar tak kunjung dimulai. Dahlan mulai gelisah. Ditinggalkannya ruang tunggu VIP menuju ruang seminar. Rupanya, belum ada tanda-tanda seminar akan segera dimulai.

“Mohon maaf, saya sudah 30 menit di sini. Tapi seminarnya belum juga dimulai. Waktu saya sangat terbatas. Saya ke kampus Universitas Diponegoro saja,” kata Dahlan sambil bergegas ke mobil jemputan yang disediakan Universitas Diponegoro di halaman hotel.

Panitia seminar IAIN Walisongo tampak panik. “Tunggu 30 menit lagi Pak,” jawab panitia. “Maaf, tidak bisa. Lain waktu, saya akan datang lagi,” sahut Dahlan.

“Inilah potret kita hari ini. Masih banyak orang yang tidak menghargai waktu. Kita sudah bela-belain datang dengan menyewa pesawat. Ini bukan soal harga sewanya. Tetapi soal komitmennya,” kata Dahlan di dalam mobil.

Kekecewaan Dahlan akhirnya terbayar lunas di kampus Universitas Diponegoro. Walau kedatangan Dahlan satu jam lebih awal dari rencana, lebih dari 800 mahasiswa menyambutnya. Bahkan Irwan Hidayat, bos Sido Muncul, yang menjadi pembicara kedua dalam seminar “Here to be Entrepreneur” yang digagas mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis FISIP Undip itu pun sudah berada di lokasi.

“Ini baru contoh hebat. Memegang komitmen dan menghargai waktu,” puji Dahlan kepada panitia dan peserta seminar di Undip.

Joko Intarto @IntartoJoko

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost