Soal Inalum, Dahlan Iskan : Jangan Heboh Dulu
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengatakan, prioritas pertama pemerintah saat ini adalah mengambilalih PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) pada 1 November 2013.
Ia menegaskan pembagian antara pusat dan daerah bisa dilakukan setelahnya. "Memang saya dengar-dengar suara daerah minta bagian. Saya kira itu terbuka untuk dibicarakan," kata Dahlan ditemui usai rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Senin (21/10/2013) malam.
"Tapi jangan satu, dua hari ini. Nanti kalau heboh-heboh, tanggal 1 enggak jadi deh jatuh ke Indonesia. Nanti kehilangan semua," lanjutnya.
Ia juga menambahkan, ternyata pengambilalihan Inalum harus melewati persetujuan DPR RI. Menurutnya, ini harus diketahui oleh publik.
"Banyak yang menyangka tidak pakai persetujuan DPR. Jangan tanya aturan apa, saya lupa. Karena itu, besok malam kan ada rapat dengan DPR, gabungan dengan Komisi VI. Sehingga kami minta persetujuan DPR," jelas mantan Dirut PLN itu.
Dahlan menyatakan bahwa persetujuan DPR diperlukan terkait dengan anggaran yang dialokasikan. Pemerintah sejauh ini telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 7 triliun untuk memiliki 100 persen saham Inalum.
Sebelumnya, dalam pertemuan terakhir, pihak Jepang menginginkan harga Inalum sebesar 626 juta dollar AS, sedangkan Indonesia sendiri menginginkan harga Inalum hanya 424 juta dollar AS.
Namun kabar terakhir meyebutkan, pihak Indonesia telah menaikkan tawarannya menjadi 558 juta dollar AS atau setara sekitar Rp 6,14 triliun (kurs Rp 11.000 per dollar AS) kepada Nippon Asahan Aluminium (NAA).
Asuransi Perlu atau Tidak? Temukan jawabannya disini
Editor : Bambang Priyo Jatmiko
Dahlan: 30 Tahun dikuasai Jepang, malam ini sejarah Inalum
Merdeka.com - Menteri BUMN, Dahlan Iskan, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya atas persetujuan DPR yang memberi restu ke pemerintah mengambil alih PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum. Inalum telah 30 tahun dikuasai Jepang.
"Ini sejarah penting kita putuskan malam ini, 1 November beberapa hari lagi dan perusahaan ini jadi milik Indonesia sepenuhnya," kata Dahlan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (22/10) malam.
Di tempat yang sama, Menteri Perindustrian, MS Hidayat, juga sumringah atas keputusan pemerintah dan DPR. Lega sekali saya, ini pekerjaan dari dua tahun lalu akhirnya selesai," kata Hidayat ditempat yang sama.
Mantan ketua umum Kadin ini menuturkan, Komisi VI juga telah setuju pembayaran Inalum sebesar USD 558 juta. Pemerintah bahkan telah menyiapkan batas maksimal pendanaan sebesar Rp 7 triliun.
"Itu kami telah usulkan secara resmi. Kalau berjalan dengan baik, penandatanganan (pengambil alihan) akan kami lakukan 25 Oktober," katanya
Menurut Hidayat, ke depannya dia bersama pemerintah akan terus meningkatkan kinerja karyawan.
"Ada 2.000 karyawan mereka selama ini terlatih harus ditingkatkan. Mereka dari putra terbaik yang sudah terpilih selama ini," tutupnya.
http://www.merdeka.com/uang/dahlan-30-tahun-dikuasai-jepang-malam-ini-sejarah-inalum.html
Jakarta - Pemerintah Indonesia memastikan akan mengambil alih 100% saham PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dari pihak Jepang mulai 1 November 2013. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengatakan ini merupakan sejarah penting yang ditorehkan pemerintah.
"Ini sejarah penting kita torehkan. Bahwa mulai 1 November 2013 beberapa hari lagi perusahaan besar menjadi milik Indonesia," kata Dahlan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di Senayan Jakarta, Selasa (22/10/2013).
Dahlan pun memastikan bahwa setelah diambil alih oleh pemerintah Indonesia, pasokan bahan baku akan terjamin. Juga dikatakan Dahlan, produksi Inalum yang selama ini 70% dikirim ke Jepang akan dialihkan ke Indonesia.
"Penyediaan bahan baku kontraknya diperpanjang selama 2 tahun ke depan. Kami sudah menyetujui penyediaan bahan baku selama 2 tahun. Lalu kekhawatiran 70% tidak bisa dikirim lagi ke Jepang itu juga tidak benar. Kami sudah menyetujui kontrak dalam negeri sampai 70%, nanti bisa ditambah sampai 100%," kata Dahlan.
Inalum adalah usaha patungan pemerintah Indonesia dengan Jepang. Proyek ini didukung aset dan infrastruktur dasar, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pabrik peleburan aluminium berkapasitas 230-240 ribu ton per tahun.
Pemerintah Indonesia memiliki 41,13% saham Inalum, sedangkan Jepang memiliki 58,87% saham yang dikelola konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Konsorsium NAA beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50% dan sisanya oleh 12 perusahaan swasta Jepang.
Berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013.
(zul/hen)
http://finance.detik.com/read/2013/10/22/230755/2392800/1036/dahlan-sebut-pengambilalihan-inalum-oleh-indonesia-sejarah-penting
Dahlan Sebut Pengambilalihan Inalum oleh Indonesia Sejarah Penting
"Ini sejarah penting kita torehkan. Bahwa mulai 1 November 2013 beberapa hari lagi perusahaan besar menjadi milik Indonesia," kata Dahlan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di Senayan Jakarta, Selasa (22/10/2013).
Dahlan pun memastikan bahwa setelah diambil alih oleh pemerintah Indonesia, pasokan bahan baku akan terjamin. Juga dikatakan Dahlan, produksi Inalum yang selama ini 70% dikirim ke Jepang akan dialihkan ke Indonesia.
"Penyediaan bahan baku kontraknya diperpanjang selama 2 tahun ke depan. Kami sudah menyetujui penyediaan bahan baku selama 2 tahun. Lalu kekhawatiran 70% tidak bisa dikirim lagi ke Jepang itu juga tidak benar. Kami sudah menyetujui kontrak dalam negeri sampai 70%, nanti bisa ditambah sampai 100%," kata Dahlan.
Inalum adalah usaha patungan pemerintah Indonesia dengan Jepang. Proyek ini didukung aset dan infrastruktur dasar, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pabrik peleburan aluminium berkapasitas 230-240 ribu ton per tahun.
Pemerintah Indonesia memiliki 41,13% saham Inalum, sedangkan Jepang memiliki 58,87% saham yang dikelola konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Konsorsium NAA beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50% dan sisanya oleh 12 perusahaan swasta Jepang.
Berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013.
http://finance.detik.com/read/2013/10/22/230755/2392800/1036/dahlan-sebut-pengambilalihan-inalum-oleh-indonesia-sejarah-penting
Rapat Gabungan Inalum dengan Komisi VI DPR molor
Jakarta (ANTARA News) - Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Chatib Basri, Selasa malam, urung mengikuti Rapat Kerja Gabungan dengan Komisi VI DPR-RI untuk membahas pengambilalihan saham PT Inalum.
Rapat Gabungan yang juga membahas soal keinginan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk ikut menjadi pengelola Inalum tersebut akhirnya diwakilkan kepada Menperin MS Hidayat, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
"Kami sudah mendapat informasi langsung dari yang bersangkutan bahwa Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan tidak ikut Rapat Gabungan. Namun keduanya selanjutnya akan mengikuti rapat dengan Komisi XI DPR," ujar Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto.
Rapat Gabungan sedianya dijadwalkan pukul 19.30 WIB yang molor, baru dimulai sekitar pukul 21.30 WIB.
Empat menteri Hatta Rajasa, Chatib Basri, MS Hidayat, dan Dahlan Iskan yang datang lebih awal langsung mengadakan rapat tertutup di ruang lobi Komisi VI.
Sementara para eksekutif tersebut berembuk, anggota Komisi VI yang jumlahnya sekitar 30 orang memilih menunggu di ruang rapat.
Saat memasuki pukul 21.30 WIB, ke empat Menteri memasuki ruang rapat yang dibuka dengan sambutan oleh Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto.
Namun saat itu pula, Airlangga yang berasal dari Fraksi Golkar tersebut meminta waktu diskors untuk melakukan rapat tertutup Komisi VI DPR yang hadir saat itu.
"Kami juga ingin rapat. Kami minta para Menteri untuk menunggu kami melakukan lobby antar Fraksi," kata Airlangga.
Akhirnya setelah semua lobi selesai, rapat pun dimulai pukul 21.45 WIB.
Selain menteri terkait, rapat juga dihadiri Kepala Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo, dan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho.
Diketahui saat ini pemerintah Indonesia menguasai 41,13 persen saham di Inalum, selebihnya atau sebesar 58,87 persen dikuasai Jepang.
Sesuai perjanjian kontrak pengelolaannya yang selama ini dipegang Jepang segera berakhir pada 31 Oktober 2013.
Pemerintah Indonesia memutuskan tidak memperpanjang kontrak tersebut, sehingga untuk menguasai seluruh saham Inalum tersebut harus disiapkan sejumlah dana.
Namun proses pengambilalihan Inalum masih terkendala perbedaan nilai valuasi antara Pemerintah Indonesia yang mengajukan nilai buku senilai 424 juta dolar AS, sementara pihak Jepang mematok 626 juta dolar AS.
Perbedaan terjadi karena NAA Jepang, pemegang saham Inalum menghitung revaluasi aset, sedangkan pemerintah lewat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak mengakui revaluasi.
Selain itu, terdapat juga persoalan lain dimana Pemda Sumatera Utara juga berkeinginan untuk menjadi pengelola Inalum dengan berupaya menjadi pemegang saham pada perusahaan yang sudah beroperasi selama 30 tahun tersebut.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan 10 daerah Kabupaten Kota di Sumatera Utara menyatakan siap mengelola 58,8 persen saham Inalum.
Alasan Pemda ikut mengelola Inalum karena ingin agar masyarakat Sumatera Utara benar-benar merasakan manfaat dari sumber daya alam daerah itu.
(R017/Z002)
Rapat Gabungan yang juga membahas soal keinginan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk ikut menjadi pengelola Inalum tersebut akhirnya diwakilkan kepada Menperin MS Hidayat, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
"Kami sudah mendapat informasi langsung dari yang bersangkutan bahwa Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan tidak ikut Rapat Gabungan. Namun keduanya selanjutnya akan mengikuti rapat dengan Komisi XI DPR," ujar Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto.
Rapat Gabungan sedianya dijadwalkan pukul 19.30 WIB yang molor, baru dimulai sekitar pukul 21.30 WIB.
Empat menteri Hatta Rajasa, Chatib Basri, MS Hidayat, dan Dahlan Iskan yang datang lebih awal langsung mengadakan rapat tertutup di ruang lobi Komisi VI.
Sementara para eksekutif tersebut berembuk, anggota Komisi VI yang jumlahnya sekitar 30 orang memilih menunggu di ruang rapat.
Saat memasuki pukul 21.30 WIB, ke empat Menteri memasuki ruang rapat yang dibuka dengan sambutan oleh Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto.
Namun saat itu pula, Airlangga yang berasal dari Fraksi Golkar tersebut meminta waktu diskors untuk melakukan rapat tertutup Komisi VI DPR yang hadir saat itu.
"Kami juga ingin rapat. Kami minta para Menteri untuk menunggu kami melakukan lobby antar Fraksi," kata Airlangga.
Akhirnya setelah semua lobi selesai, rapat pun dimulai pukul 21.45 WIB.
Selain menteri terkait, rapat juga dihadiri Kepala Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo, dan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho.
Diketahui saat ini pemerintah Indonesia menguasai 41,13 persen saham di Inalum, selebihnya atau sebesar 58,87 persen dikuasai Jepang.
Sesuai perjanjian kontrak pengelolaannya yang selama ini dipegang Jepang segera berakhir pada 31 Oktober 2013.
Pemerintah Indonesia memutuskan tidak memperpanjang kontrak tersebut, sehingga untuk menguasai seluruh saham Inalum tersebut harus disiapkan sejumlah dana.
Namun proses pengambilalihan Inalum masih terkendala perbedaan nilai valuasi antara Pemerintah Indonesia yang mengajukan nilai buku senilai 424 juta dolar AS, sementara pihak Jepang mematok 626 juta dolar AS.
Perbedaan terjadi karena NAA Jepang, pemegang saham Inalum menghitung revaluasi aset, sedangkan pemerintah lewat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak mengakui revaluasi.
Selain itu, terdapat juga persoalan lain dimana Pemda Sumatera Utara juga berkeinginan untuk menjadi pengelola Inalum dengan berupaya menjadi pemegang saham pada perusahaan yang sudah beroperasi selama 30 tahun tersebut.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan 10 daerah Kabupaten Kota di Sumatera Utara menyatakan siap mengelola 58,8 persen saham Inalum.
Alasan Pemda ikut mengelola Inalum karena ingin agar masyarakat Sumatera Utara benar-benar merasakan manfaat dari sumber daya alam daerah itu.
(R017/Z002)
Editor: Ruslan Burhani