Jakarta (ANTARA News) - Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Chatib Basri, Selasa malam, urung mengikuti Rapat Kerja Gabungan dengan Komisi VI DPR-RI untuk membahas pengambilalihan saham PT Inalum.

Rapat Gabungan yang juga membahas soal keinginan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk ikut menjadi pengelola Inalum tersebut akhirnya diwakilkan kepada Menperin MS Hidayat, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

"Kami sudah mendapat informasi langsung dari yang bersangkutan bahwa Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan tidak ikut Rapat Gabungan. Namun keduanya selanjutnya akan mengikuti rapat dengan Komisi XI DPR," ujar Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto.

Rapat Gabungan sedianya dijadwalkan pukul 19.30 WIB yang molor, baru dimulai sekitar pukul 21.30 WIB.

Empat menteri Hatta Rajasa, Chatib Basri, MS Hidayat, dan Dahlan Iskan yang datang lebih awal langsung mengadakan rapat tertutup di ruang lobi Komisi VI.

Sementara para eksekutif tersebut berembuk, anggota Komisi VI yang jumlahnya sekitar 30 orang memilih menunggu di ruang rapat.

Saat memasuki pukul 21.30 WIB, ke empat Menteri memasuki ruang rapat yang dibuka dengan sambutan oleh Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto.

Namun saat itu pula, Airlangga yang berasal dari Fraksi Golkar tersebut meminta waktu diskors untuk melakukan rapat tertutup Komisi VI DPR yang hadir saat itu.

"Kami juga ingin rapat. Kami minta para Menteri untuk menunggu kami melakukan lobby antar Fraksi," kata Airlangga.

Akhirnya setelah semua lobi selesai, rapat pun dimulai pukul 21.45 WIB.

Selain menteri terkait, rapat juga dihadiri Kepala Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo, dan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho.

Diketahui saat ini pemerintah Indonesia menguasai 41,13 persen saham di Inalum, selebihnya atau sebesar 58,87 persen dikuasai Jepang.

Sesuai perjanjian kontrak pengelolaannya yang selama ini dipegang Jepang segera berakhir pada 31 Oktober 2013.

Pemerintah Indonesia memutuskan tidak memperpanjang kontrak tersebut, sehingga untuk menguasai seluruh saham Inalum tersebut harus disiapkan sejumlah dana.

Namun proses pengambilalihan Inalum masih terkendala perbedaan nilai valuasi antara Pemerintah Indonesia yang mengajukan nilai buku senilai 424 juta dolar AS, sementara pihak Jepang mematok 626 juta dolar AS.

Perbedaan terjadi karena NAA Jepang, pemegang saham Inalum menghitung revaluasi aset, sedangkan pemerintah lewat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak mengakui revaluasi.

Selain itu, terdapat juga persoalan lain dimana Pemda Sumatera Utara juga berkeinginan untuk menjadi pengelola Inalum dengan berupaya menjadi pemegang saham pada perusahaan yang sudah beroperasi selama 30 tahun tersebut.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan 10 daerah Kabupaten Kota di Sumatera Utara menyatakan siap mengelola 58,8 persen saham Inalum.

Alasan Pemda ikut mengelola Inalum karena ingin agar masyarakat Sumatera Utara benar-benar merasakan manfaat dari sumber daya alam daerah itu.
(R017/Z002)